29 November 2013

Syukur++

Diposting oleh Ayu Wulandini di 29.11.13

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Kalimat tersebut mungkin sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Kalimat tersebut berkali-kali diulang pada surat Ar-Rahman, surat yang menunjukkan betapa besarnya kasih sayang Allah SWT.

Begitu juga dengan ini:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim:7)

Kedua kalimat tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi pemicu kita untuk terus bersyukur dengan apa yang telah kita dapatkan. Sayangnya, tidak semua yang kita dapatkan adalah sesuatu yang benar-benar kita inginkan. Lantas, bagaimana kita mensyukuri sesuatu yang sebenarnya tidak kita inginkan?



Saya adalah seorang mahasiswi UI yang merupakan penerima beasiswa program fasttrack dari DIKTI. Awalnya, saya merupakan ‘pemburu’ beasiswa, karena saya merasa biaya kuliah S1 saya cukup tinggi. Sayangnya, sampai saya mendekati semester 6, tak ada satu beasiswa pun yang berhasil saya dapati.

Hingga akhirnya pada akhir semester 6, ada penawaran beasiswa program fasttrack, yang berarti, jika saya diterima, saya akan melanjutkan kuliah saya pada jenjang S2 pada saat saya masih berada di semester 7 nanti. Sebagai pemburu beasiswa, saya pun memasukkan berkas saya ke beasiswa tersebut. Walaupun sebenarnya, saat itu saya masih ragu akan langsung melanjutkan kuliah atau bekerja dahulu. Namun, saya percaya penuh, diterima atau tidaknya nanti, itu sudah menjadi keputusan terbaik dari Allah.

Semester 7 datang, dan belum ada pengumuman apapun mengenai beasiswa tersebut. Saya pun menjalani perkuliahan sebagai mahasiswa S1 biasa. Hingga akhirnya, beberapa minggu sebelum UTS, pengumuman tersebut datang. Ternyata saya diterima beasiswa tersebut. Mulut ini langsung segera mengucap hamdallah, menunjukkan rasa syukur atas pengumuman tersebut. Setelah saat itu, saya pun resmi menjadi mahasiswi program fasttrack.



Ternyata, menjadi mahasiswa S2 itu cukup sulit. Itu adalah kesimpulan awal yang saya rasakan setelah benar-benar menjalani perkuliahan S2. Dengan teman yang lebih sedikit, tugas yang semakin menumpuk, tuntutan pemikiran yang harus lebih cerdas, saya hampir merasa tidak sanggup menjalani perkuliahan tersebut. Rasanya baru beberapa hari yang lalu saya menyelesaikan skripsi dan diwisuda, saat ini saya sudah diminta untuk mulai mengerjakan tesis.

Saya benar-benar merasakan makna fasttrack tersebut. Semuanya terasa lebih singkat. Saya pun harus berfikir dan bekerja dengan lebih cepat pula. Saya bahkan sempat mempertanyakan mengapa saya diterima. Padahal dibandingkan dengan penerima beasiswa lain, IPK saya sangat pas-pasan. Kemudian saya pun ber-istighfar. Saya khawatir pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat saya menjadi orang yang kufur nikmat. Na’udzubillah

Saya pun berusaha move ON untuk menjadi orang yang bersyukur. Saya mengingat-ingat semua nikmat yang telah saya dapatkan. Bersyukur karena saya beruntung bisa mendapatkan beasiswa tersebut. Bersyukur karena saya bisa meringankan beban orang tua saya dengan tidak membayar biaya kuliah di semester 7&8 serta selama pasca sarjana ini.

Sayangnya, iblis pun tau cara menggoda saya. Saya diingatkan pula dengan beban perkuliahan yang berat. Saya diingatkan dengan kebahagiaan-kebahagian rekan-rekan saya yang sudah bekerja dan mendapatkan gaji yang cukup tinggi. Dalam diri ini serasa ada perang batin antara dua kubu.



Ya Allah, kuatkan hamba..


Saya pun mencari cara agar saya bisa teguh dijalan ini dan menyelesaikan apa yang sudah saya mulai. Saya teringat dengan kalimat: “Lakukan hal yang kamu cintai atau cintai hal yang kamu lakukan”
Saya merasa saat ini saya belum mencintai hal yang saya lakukan saat ini. Saya belum mencintai aktifitas saya masih mahasiswa dengan segudang tugas dan bermacam target. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk mulai belajar mencintai.

Belajar mencintai ternyata tidak mudah. Namun saya pun terus ‘memaksa’ diri saya untuk terus belajar mencintai apa yang saya lakukan. Memulai dengan membiasakan membaca-baca jurnal secara rutin, berdiskusi dengan teman ataupun dosen untuk mendukung tesis saya. Mulai membiasakan mengurangi lagi waktu tidur saya. Mulai membiasakan tidak jajan sembarangan agar badan saya tetap fit. Hingga akhirnya, saya pun benar-benar terbiasa dengan kegiatan-kegiatan tersebut.

Saya akhirnya menjalani kehidupan mahasiswi saya dengan benar-benar bersyukur. Mencintai apa yang saya lakukan dan akhirnya melakukan apa yang saya cintai.

Ternyata, rasa syukur itu tidak cukup hanya dengan berucap syukur. Kita harus belajar mencintai hal tersebut untuk benar-benar mensyukuri apa yang kita dapatkan. Hingga akhirnya kita menjadi orang yang memiliki syukur++

Semoga bermanfaat J


Tulisan ini pernah dikirimkan ke Tulisan Pembaca website Jamil Azzaini namun belum lolos Tim Redaksi
Comments
4 Comments

4 komentar:

  1. Hahaha, kerja itu gk selalu ttg gaji whe. Tp dg bekerja kita bisa tahu karir yg kita inginkan spt apa. Your job is not always your career :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya sih pe ,,tapi kemaren kan gue ngirinya ama aktifitasnya juga sih..ngerasa masih terjebak dalam school life, padahal yg laen udh masuk fase lain setelah kuliah,hahaha

      Hapus
    2. wajar sih kalo ngiri, rumput tetangga emang selalu lebih hijau. btw, komen lo agak gak sesuai dengan postingan lo whe. bersyukur.. bersyukur..

      Hapus
  2. Berbicara soal rumput hijau itu, prnh ada temen di kantor yg bilang sebaliknya: "rumput kita terlihat lebih hijau meen daripada rumput tetangga" soalnya biar kita jd PD dan bersyukur hahaha

    BalasHapus

 

Ayu Wulandini Rezkyal Copyright © 2010 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by Emocutez