“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu
dustakan?”
Kalimat tersebut
mungkin sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Kalimat tersebut
berkali-kali diulang pada surat Ar-Rahman, surat yang menunjukkan betapa
besarnya kasih sayang Allah SWT.
Begitu juga
dengan ini:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim:7)
Kedua kalimat
tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi pemicu kita untuk terus bersyukur
dengan apa yang telah kita dapatkan. Sayangnya, tidak semua yang kita dapatkan
adalah sesuatu yang benar-benar kita inginkan. Lantas, bagaimana kita
mensyukuri sesuatu yang sebenarnya tidak kita inginkan?
Saya adalah
seorang mahasiswi UI yang merupakan penerima beasiswa program fasttrack dari
DIKTI. Awalnya, saya merupakan ‘pemburu’ beasiswa, karena saya merasa biaya
kuliah S1 saya cukup tinggi. Sayangnya, sampai saya mendekati semester 6, tak
ada satu beasiswa pun yang berhasil saya dapati.
Hingga akhirnya
pada akhir semester 6, ada penawaran beasiswa program fasttrack, yang berarti,
jika saya diterima, saya akan melanjutkan kuliah saya pada jenjang S2 pada saat
saya masih berada di semester 7 nanti. Sebagai pemburu beasiswa, saya pun
memasukkan berkas saya ke beasiswa tersebut. Walaupun sebenarnya, saat itu saya
masih ragu akan langsung melanjutkan kuliah atau bekerja dahulu. Namun, saya percaya
penuh, diterima atau tidaknya nanti, itu sudah menjadi keputusan terbaik dari Allah.
Semester 7
datang, dan belum ada pengumuman apapun mengenai beasiswa tersebut. Saya pun
menjalani perkuliahan sebagai mahasiswa S1 biasa. Hingga akhirnya, beberapa
minggu sebelum UTS, pengumuman tersebut datang. Ternyata saya diterima beasiswa
tersebut. Mulut ini langsung segera mengucap hamdallah, menunjukkan rasa syukur
atas pengumuman tersebut. Setelah saat itu, saya pun resmi menjadi mahasiswi
program fasttrack.
Ternyata,
menjadi mahasiswa S2 itu cukup sulit. Itu adalah kesimpulan awal yang saya
rasakan setelah benar-benar menjalani perkuliahan S2. Dengan teman yang lebih
sedikit, tugas yang semakin menumpuk, tuntutan pemikiran yang harus lebih
cerdas, saya hampir merasa tidak sanggup menjalani perkuliahan tersebut.
Rasanya baru beberapa hari yang lalu saya menyelesaikan skripsi dan diwisuda,
saat ini saya sudah diminta untuk mulai mengerjakan tesis.
Saya benar-benar
merasakan makna fasttrack tersebut. Semuanya terasa lebih singkat. Saya pun
harus berfikir dan bekerja dengan lebih cepat pula. Saya bahkan sempat
mempertanyakan mengapa saya diterima. Padahal dibandingkan dengan penerima
beasiswa lain, IPK saya sangat pas-pasan. Kemudian saya pun ber-istighfar. Saya
khawatir pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat saya menjadi orang yang kufur
nikmat. Na’udzubillah
Saya pun
berusaha move ON untuk menjadi orang yang bersyukur. Saya mengingat-ingat semua
nikmat yang telah saya dapatkan. Bersyukur karena saya beruntung bisa
mendapatkan beasiswa tersebut. Bersyukur karena saya bisa meringankan beban
orang tua saya dengan tidak membayar biaya kuliah di semester 7&8 serta
selama pasca sarjana ini.
Sayangnya, iblis
pun tau cara menggoda saya. Saya diingatkan pula dengan beban perkuliahan yang
berat. Saya diingatkan dengan kebahagiaan-kebahagian rekan-rekan saya yang
sudah bekerja dan mendapatkan gaji yang cukup tinggi. Dalam diri ini serasa ada
perang batin antara dua kubu.
Ya Allah,
kuatkan hamba..
Saya pun mencari
cara agar saya bisa teguh dijalan ini dan menyelesaikan apa yang sudah saya
mulai. Saya teringat dengan kalimat: “Lakukan hal yang kamu cintai atau cintai
hal yang kamu lakukan”
Saya merasa saat
ini saya belum mencintai hal yang saya lakukan saat ini. Saya belum mencintai
aktifitas saya masih mahasiswa dengan segudang tugas dan bermacam target.
Akhirnya, saya pun memutuskan untuk mulai belajar mencintai.
Belajar
mencintai ternyata tidak mudah. Namun saya pun terus ‘memaksa’ diri saya untuk
terus belajar mencintai apa yang saya lakukan. Memulai dengan membiasakan membaca-baca
jurnal secara rutin, berdiskusi dengan teman ataupun dosen untuk mendukung
tesis saya. Mulai membiasakan mengurangi lagi waktu tidur saya. Mulai
membiasakan tidak jajan sembarangan agar badan saya tetap fit. Hingga akhirnya,
saya pun benar-benar terbiasa dengan kegiatan-kegiatan tersebut.
Saya akhirnya
menjalani kehidupan mahasiswi saya dengan benar-benar bersyukur. Mencintai apa
yang saya lakukan dan akhirnya melakukan apa yang saya cintai.
Ternyata, rasa
syukur itu tidak cukup hanya dengan berucap syukur. Kita harus belajar
mencintai hal tersebut untuk benar-benar mensyukuri apa yang kita dapatkan.
Hingga akhirnya kita menjadi orang yang memiliki syukur++
Semoga
bermanfaat J
Tulisan ini pernah dikirimkan ke Tulisan Pembaca website Jamil Azzaini namun belum lolos Tim Redaksi
Hahaha, kerja itu gk selalu ttg gaji whe. Tp dg bekerja kita bisa tahu karir yg kita inginkan spt apa. Your job is not always your career :p
BalasHapusiya sih pe ,,tapi kemaren kan gue ngirinya ama aktifitasnya juga sih..ngerasa masih terjebak dalam school life, padahal yg laen udh masuk fase lain setelah kuliah,hahaha
Hapuswajar sih kalo ngiri, rumput tetangga emang selalu lebih hijau. btw, komen lo agak gak sesuai dengan postingan lo whe. bersyukur.. bersyukur..
HapusBerbicara soal rumput hijau itu, prnh ada temen di kantor yg bilang sebaliknya: "rumput kita terlihat lebih hijau meen daripada rumput tetangga" soalnya biar kita jd PD dan bersyukur hahaha
BalasHapus